Kamis, 21 Januari 2010

Al Imam Al Faqih Al Muqaddam Muhammad

Al Imam Al Faqih Al Muqaddam Muhammad


Makam Al Faqih Al Muqoddam[Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]

Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang faqih yang diunggulkan).

Beliau adalah al-’arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam dan guru, suri tauladan bagi al-’arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin, seorang qutub yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah, seorang yang mendapatkan kewalian rabbani dan karomah yang luar biasa, seorang yang mempunyai jiwa yang bersih dan perjalanan hidupnya terukir dengan indah.

Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT, sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah lagi Allah memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu, baik yang dhohir ataupun yang bathin.

Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah Al-Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami At-Tarimi. Al-Imam Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung, pemuka para ulama besar di kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid (pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya itu, yakni Al-Imam Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali kalau Al-Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya, diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani, As-Sayyid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib, Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath (paman beliau) dan masih banyak lagi.

Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari orangtua dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari kakeknya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Adapun jalur yang kedua, beliau mengambil dari seorang ulama besar dan pemuka ahli sufi, yaitu Sayyidina Asy-Syeikh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua orang murid Asy-Syeikh Abu Madyan, yaitu Abdurrahman Al-Maq’ad Al-Maghrobi dan Abdullah Ash-Sholeh Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan mengambil dari gurunya, gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan penuh kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, serta mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan para Salafus Sholeh. Beliau ber-mujahadah dengan keras dalam mendidik akhlaknya dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai dengan syariah.

Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli ulama-ulama di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para ulama di jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya dalam berbagai macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan yang ada pada diri beliau untuk menyandang sebagai imam di jamannya.

Mujahadah beliau di masa-masa awal pertumbuhannya bagaikan mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-’arif billah. Allah-lah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam diri beliau. Allah-lah juga yang mengaruniai beliau berbagai macam keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan oleh para qutub yang lainnya. Hati beliau tidak pernah kosong sedetikpun untuk selalu berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak pada diri beliau asrar, waridad, mawahib dan mukasyafah.

Rumah+Al+Faqih+Muqoddam.gifBeliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di setiap keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang pemuka para ahli sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa’ad bin Ali Adz-Dzofari. Setelah Asy-Syeikh Sa’ad membaca surat itu dan merasakan kedalaman isi suratnya, ia terkagum-kagum dan merasakan asrar dan anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia membalas surat tersebut, dan di akhir suratnya ia berkata, “Engkau, wahai Faqih, orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh siapapun. Engkau adalah orang yang paling mengerti dengan syariah dan haqiqah, baik yang dhohir maupun yang bathin.”

Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri Al-Faqih Al-Muqaddam, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu kalam yang lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali, kecuali kalamnya para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat mengunggulkan seorang wali pun terhadapnya (Al-Faqih Al-Muqaddam), kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau orang yang diberikan kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau selainnya.”

Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, “Aku terhadap masyakaratku seperti awan.” Suatu hari dikisahkan bahwa beliau pernah tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis salam. Beliau berkisah, “Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat yang beratap tinggi. Tiba-tiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku sambil membungkukkan badannya agar tak terkena atap. Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Syeikh, jika engkau tidak berziarah kepadaku, maka aku akan berziarah kepadamu.’”

Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis salam menyerupai seorang badui dan diatas kepalanya terdapat kotoran. Bangunlah Al-Faqih Al-Muqaddam, lalu mengambil kotoran tersebut dari kepalanya dan kemudian memakannya. Kejadian tersebut membuat para sahabatnya terheran-heran. Akhirnya mereka bertanya, “Siapakah orang itu?.” Maka Al-Faqih Al-Muqaddam menjawab, “Dia adalah Nabi Khidir alaihis salam.”

Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar di jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau. Yang paling terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad ‘Ibad dan Asy-Syeikh Sa’id bin Umar Balhaf. Selain keduanya, banyak juga ulama-ulama besar yang berhasil digembleng oleh beliau, diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir Abdullah Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Ibad, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh Sa’ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara sepupunya, dan masih banyak lagi.

Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau. Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad dan Ali.

Radhiyallohu anhu wa ardhah…

BIOGRAFI HABIB ABDULQODIR BIL FAQIH




Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy

Berikut ini kami sampaikan sedikit manaqib dari Al HAbib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih Al- Alawy, yang di himpun dari berbagai sumber.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M.
Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.

Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”

Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.

Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.

Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain:
Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry,
Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur,
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf,
Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor,
Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus,
Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany,
Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby,
Habib Ali bin Zain Al-Hadi,
Habib Ahmad bin Hasan Alatas,
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy,
Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib,
Syekh Abdurrahman Bahurmuz.

Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”

Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.

Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.

Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.

Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.

Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.

Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

Selasa, 05 Januari 2010

BIOGRAFI Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bil Faqih Al Alawi

Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bil Faqih Al Alawi

Berikut saya sampaikan sekilas kisah guru dari para guru kami yakni habib Abdullah bin Abdul Qodir bil Faqih Al Alawi yang saya dapatkan dari berbagai sumber (baik dari internet maupun dari manaqib yang dibacakan pada haul beliau).

Habib Abdullah bin Abdul Qodir bil Faqih

Habib ‘Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur. Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.

Di tulis oleh Aji Setiawan :

Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih

Bak Pinang Dibelah Dua
Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah.

Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi ilmunya.

Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.

Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putra buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah.

Sesuai dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.

Hal itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.

Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.

Sebagai murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.

Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.

Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.

Empat Madzhab

Selain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.

Setelah ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.

Sebagaimana ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.

Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter.

Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya bathil.

Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.

Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).

Habib Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah dishalatkan di Masjid Jami’ Malang, jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin, Malang, Jawa Timur.
Ayahanda beliau

Image Hosted by ImageShack.us

Habib Abdullah (kiri) dan ayahanda beliau habib Abdul Qodir Bil Faqih (tengah)

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

FOTO HABAIB


WEBSITE ISLAM

Website Islam

Jumat, 01 Januari 2010

Profil PP Rubat Tarim

Profil Rubat Tarim

Pendahuluan

Kota Tarim sejak dulu merupakan pusat ilmu dan penyebaran agama Islam, pakar sejarah mengatakan demikian. Kerena, melalui perantau yang berasal dari kota ini pada khususnya dan Hadramaut pada umumnya Islam menyebar hingga ke Timur Asia, India, Indonesia, Malaysia, Berunei Darussalam, Fhilipina, Singapura, juga belahan Afrika, Kongo, Somalia, dan Sudan.

Mereka para muhajirin tersebut pergi untuk berda’wah dan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dicukupi dengan berdagang, hingga negeri-negeri yang dulunya kafir berubah menjadi negeri-negeri Islam.

Sayyidina Imam Ahmad bin Hasan Al-Attash menyebutkan bahwa sebagian ulama Tarim telah hijrah sejak lebih dari 1000 tahun lalu, diantara mereka ada yang menjadi qadhi (hakim) di Mesir, padahal negeri ini dan Al-Azharnya sudah terkenal sejak dulu sebagai pusat cendikiawan-cendikiawan muslim.

Pada abad-abad selanjutnya fenomena ini mulai berubah, jika sebelumnya para ulama hijrah dari kota Tarim Al-Ghanna ini, kini orang mulai berdatangan ke Tarim untuk menuntut ilmu. Itu terjadi baik dimasa hidup Habib Syekh Abu Bakar bin Salim, masa putra beliau Hamid dan Husin juga dimasa Imam Abdullah Al-Haddad. Hal ini terjadi terus menerus hingga pada paruh pertama abad ke-13 H. Kota Tarim kian dipenuhi pendatang asing, diantara mereka Sayyid Imam Al-Habib Sholeh Al-Bahrain, Salim bin Sa’id bin Syumaeil, Syekh Abdullah Basaudan, Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attash, dan sebagainya. Pendatang-pendatang ini tinggal dimesjid-mesjid dan juga di zawiyah zawiyah yang ada di Tarim.

Kota yang besarnya tidak lebih dari luas kota kecamatan di Indonesia ini memang sangat istimewa. Walaupun kecil namun jumlah mesjidnya saja sangat banyak lebih dari 365 buah dan zawiyah-zawiyah yang makna asalnya pojok-pojok yang berfungsi sebagai tempat ibadah para ubbad (ahli ibadah). Disitu para pelajar belajar ilmu nahwu, Fiqh, dan ilmu-ilmu lainnya dengan para guru-guru yang ada di tiap-tiap zawiyah atau mesjid tersebut. Seperti zawiyah Syekh Ali bin Abu Bakar As-Syakron bin Abdurrahman As-Segaf yang diasuh oleh Al-Allamah Mufti Diyar Hadramiyah Al-Allamah Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, kemudian zawiyah mesjid Sirjis dan Al-Awwabin dengan Syekh Al-Allamah Muhammad bin Ahmad Al-Khatib, zawiyah mesjid Nafi’ diasuh Al-Allamah Syekh Ahmad bin Abdullah Al-Bakri Al-Khatib (setelah wafat guru beliau yang juga pendiri zawiyah tersebut, Al-Allamah Ahmad bin Abdullah Balfaqih pada tahun 1299 H, dan setelah wafat Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Bakar Al-kherred), kemudian mesjid Suwayyah pengajarnya juga Syekh Ahmad, mesjid bani Hatim (sekarang dikenal dengan mesjid ‘Asyiq) mudarrisnya Al-Allamah Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Masyhur, zawiyah Syekh Salim bin fadhal Bafadhal dengan pengasuh Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-kherred (meninggal tahun 1312 H) dan lain sebagainya.

Demikinlah kegiatan-kegiatan ilmiah yang ada dikota ini begitu ramai dan tatkala pelajar dari luar Tarim kian banyak dan dirasa kian sulit mendapatkan tempat tinggal, berkumpullah para pemuka kota ini guna memecahkan masalah itu, diantara mereka dari keluarga Al-Haddad, As-Sirri, Al-Junaid dan Al-Arfan.

Nama Perguruan

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan sebuah rubath (ma’had) yang kemudian dinamakan “RUBATH TARIM”. Persyaratan bagi calon pelajar juga dibahas pada kala itu, kriteria utama antara lain: calon santri adalah penganut salah satu mazhab dari empat mazhab fiqh (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) dan dalam aqidah bermazhab Asy’ariyah (mazhab Imam Abi Hasan Al-Asy’ari)

Tahun Diresmikan

Setelah membuat kesepakatan diatas dimulailah pembangunan Rubath Tarim. Untuk keperluan ini, Habib Ahmad bin Umar As-Syatiri (wafat di Tarim tahun 1306 H) mewakafkam rumah beliau (dar muhsin) dan pekarangannya yang berada disebelah pasar di halaman mesjid Jami’ Tarim dan mesjid Babthoinah (sekarang mesjid Rubath Tarim). Wakaf juga datang dari Al-Allamah Al-Muhdisth Muhammad bin Salim As-Sirri (lahir di Singapura 1264 H, dan wafat di Tarim 1346 H)

Habib Salim bin Abdullah As-Syatiri (pengasuh Rubath Tarim sekarang) menambahkan bahwa pedagang-pedagang dari keluarga Al-Arfan juga mewakafkan tanah yang mereka beli di bagian timur, mereka kemudian dijuluki tujjaru ad-dunya wa al-akhirah (pedagang dunia dan akhirat). Datang juga sumbangan melalui wakaf rumah, kebun, dan tanah milik keluarga-keluarga habaib di luar Yaman, seperti Indonesia, Singapura, dan Bombosa Afrika.

Akhirnya selesailah pembangunan Rubath Tarim di bulan dzulhijjah tahun 1304 H dan secara resmi dibuka pada 14 muharram 1305 H, keluarga Al-Attash tercatat sebagai santri pertama yang belajar di Rubath Tarim kemudian datang keluarga Al-Habsyi begitu selanjutnya berdatangan para pelajar, baik dari Hadramaut sendiri maupun dari luar Hadramaut bahkan dari luar negeri Yaman. Habib Ahmad bin Hasan Al-Attash berkata: “perealisasian pembangunan Rubath Tarim ini tidak lain adalah niat semua salafusshalihin alawiyiin, hal ini terbukti dengan mamfaatnya yang besar serta meluas mulai dari bagian Timur bumi dan Barat”.

Pengasuh

 Pengasuh I

Mufti Diyar Hadramiyah Sayyidina Al-Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (pengarang kitab Bugyatul Mustarsidin), beliau lahir di Tarim tahun 1250 H. Beliau mengasuh Rubath Tarim hingga tahun 1320 H, dengan di bantu ulama-ulama lain yang ada pada masa itu, seperti Al-Allamah Syekh Ahmad bin Abdullah Al-Bakri Al-Khatib (1257-1331 H), Al-Allamah An-Nahrir Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur (1263-1341), Al-faqih Al-Qadhi Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-kaff (pejabat qadhi di Tarim selama dua kali, wafat 1333 H), Al-Allamah As-Sayyid Hasan bin Alwi bin Sihab, Al-Allamah Syekh Abu Bakar bin Ahmad Al-Bakri Al-Khatib (1286-1356). Para mudarris inilah yang mengajar di Rubath Tarim sejak pertama kali dibuka pada tahun 1305 hingga tahun 1314 H.

 Pengasuh II

Al-Allamah Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur (lahir di Tarim tahun 1274 H), mudarris di zawiyah Syekh Ali bin Abu Bakar bin Abdurrahman As-Segaf. Beliau mengasuh Rubath Tarim sejak wafatnya sang ayah (Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur) pada tahun 1320 H dan terus berlangsung hingga tahun 1344 H ketika beliau berpulang kerahmatullah pada tahun itu pada tanggal 9 syawal.

 Pengasuh III

Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri ra (lahir di Tarim bulan Ramadhan tahun 1290 H), yang kemudian diberi mandat oleh pemuka kota Tarim untuk menjadi pengasuh ketiga yang semula menjadi wakil Habib Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur sejak tahun 1341 H jika beliau berhalangan mengajar dan telah menjadi mudarris di Rubath Tarim sejak datang dari Mekkah pada tahun 1314 H. Pada mulanya beliau belajar di kota kelahiran kepada para masyayikh di sana terutama kepada Habib Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Kaff. Kemudian beliau pindah ke Seiwun (25 KM sebelah barat laut kota Tarim) dan belajar di Rubath Habib Ali bin Muhammad bin Husien Al-Habsyi selama kurang lebih empat bulan, juga kepada Habib Muhammad bin Hamid As-Segaff, dan saudara beliau Umar bin Hamid As-Segaf, serta Habib Abdullah bin Muhsin As-Segaf.

Pada waktu berumur 20 tahun (tahun 1310 H), beliau pergi ke Mekkah bersama orang tua beliau Habib Umar As-Syatiri, untuk menunaikan ibadah haji dan ziarah kepada Rasulullah SAW. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, beliau meminta izin kepada ayah beliau untuk tinggal di Mekkah guna menuntut ilmu. Dan tercatat sejak tanggal 15 muharram 1211 H hingga 15 dzulhijjah 1313 H beliau belajar pada ulama-ulama di kota suci itu diantaranya kepada Syekh Al-Allamah Umar bin Abu Bakar Ba Junaid, Syekh Al-Allamah Muhammad bin Said Babsheil, Habib Husien bin Muhammad bin Husien Al-Habsyi (saudara Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Seiwun), Habib Ahmad bin Hasan Al-Attash, dan Al-Faqih Al-Abid Abu Bakar bin Muhammad Syatho (pengarang kitab hasyiyah I’anatu at-Thalibin ‘ala fathi al-mu’in).

Konon ilmu nahwu sangat sulit bagi beliau, sampai beliau berujar (sebagaimana yang dituturkan putera beliau Habib Salim bin Abdullah As-Syatiri):”…..dulu saya punya kitab kafrawi syarah al-jurumiah yang penuh dengan air mata….. “ kerena sulitnya ilmu itu bagi beliau. Namun kemudian Allah SWT menganugerahi beliau ke-futuh-an.”….tatkala saya berada di Mekkah, semua risalah yang datang, saya taruh dibawah tempat tidur, saya berdo’a di Multazam agar Allah SWT membukakan bagi saya ilmu yang bermamfaat, dan agar ilmu saya menyebar di bumi barat dan timur, maka acap kali saya berdo’a dengan do’a ini, terlintas dalam benak, bahwa saya akan menjadi musafir yang pindah dari dari negeri satu kenegeri yang lain untuk mengajar umat akan tetapi berapa lama umur manusia untuk semua itu ?…”. Maka Allah SWT mengabulkan do’a beliau, Allah SWT memudahkan perjalan Rubath ini, sehingga datang kesana para penuntut ilmu dari penjuru dunia, mereka menjadi ulama, dan menyebarkan ilmu mereka masing-masing maka menyebarlah ilmu beliau (Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri) di timur dan barat.

Sayyid Muhammad bin Salim bin Hafizd (salah seorang murid beliau) berujar:”……..Habib Abdullah bercerita kepada kami bahwa lama tidur beliau kala itu (selama balajar di Mekkah) tidak lebih dari 2 jam saja setiap harinya, beliau belajar kepada guru-gurunya sebanyak 13 mata pelajaran pada siang dan malam, serta menelaah kembali semua pelajaran itu (tiap hari)……”.

Selama kurang lebih lima puluh tahun beliau mengajar di Rubath Tarim (1314-1361 H) selama itu hanya enam jam beliau berada dirumah, sedang delapan belas jam dari dua puluh empat jam tiap hari, beliau berada di Rubath Tarim untuk mengajar dan memimpin halaqah-halaqah ilmiah, jumlah murid yang telah belajar di Rubath Tarim tak dapat diketahui secara pasti jumlahnya. Dalam biografi Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar (salah seorang murid di Rubath Tarim) menyebutkan bahwa lebih dari 13.000 alim telah keluar dari Rubath Tarim Dibawah asuhan Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri.


 Pengasuh IV

Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Umar As-Syatiri.

 Pengasuh V

Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar As-Syatiri (pengasuh sekarang).

Luas Bangunan

Saat ini, bangunan Rubath Tarim yang luasnya sekitar 500 m persegi ini menampung pelajar dari berbagai belahan dunia terutama pelajar Indonesia yang hampir mendominasi warga Rubath Tarim.

Sistem Belajar

Sejak berdiri hingga sekarang (kurang lebih 121 tahun) pengajian di Rubath Tarim dilaksanakan dengan sistem halaqah yang dibimbing oleh para masyayikh. Klasifikasi ini disesuaikan dengan tingkatan masing-masing pelajar. Tiap halaqah mengkaji berbagai fan keilmuan tak kurang dari sepuluh halaqah sejak pagi hingga malam mengkaji ilmu-ilmu agama dan di ikuti oleh para pelajar dengan disiplin dan khidmat.


Kitab-Kitab Yang Dipelajari

Adapun kitab-kitab yang dikaji pada tiap halaqah disesuaikan dengan kemampuan (semacam tingkatan kelas), antara lain:
 Umdah
 Fathul mu’in
 Minhajut thalibin dan sarahnya
 Nahwu
 Fawaid sugra dan kabir
 Matan al-jurumiah
 Al-fushul alfikriah Fiqh
 Ar risalatul al jamiah
 Safinatun najah
 Mukhtasar shagir
 Mukhtasar kabir
 Abi suja’
 Fathul qarib
 Zubad

 Mutammimah
 Qatrun nada
 Syaddzu adzhab
 Alfiah Ibnu Malik
 Zawaid (tambahan) alfiah Ibnu Malik
Setelah menamatkan kitab-kitab diatas para pelajar melanjutkan pada materi-materi lain, seperti Hadist, Tafsir, Usul fiqh.

Waktu Belajar

Para pengurus Rubath Tarim memperhatikan semua aktifitas pelajar dengan secara cermat. Jadual rutinitas keseharian para pelajar dimulai sejak sebelum shalat subuh dengan melaksanakan shalat tahajud, dilanjutkan shalat subuh berjamaah dimesjid Babthoin, disertai pembacaan aurad.

Baru kira-kira pukul 05.00 s.d 07.00 pagi, digelar pengajian nahwu atau lebih akrab disebut dars nahwu. Setelah itu para pelajar dipersilahkan makan pagi. Pada jam 07.30 dilaksanakan mudzakarah tiap halaqah selama sekitar setengah jam untuk persiapan pengajian yang akan di pelajari bersama masyayikh yaitu hafalan matan sampai pukul 09.00.

Selam tiga jam berikutnya adalah waktu istirahat hingga dzuhur, setelah menunaikan shalat dzuhur diadakan hizb (tadarus) Al-Qur’an selama setengah jam. Setelah itu para pelajar dianjurkan tidur siang untuk persiapan mengaji pada sore hari.

Pada pukul 15.00 setelah shalat ashar berjamaah, semua pelajar mengaji tiap halaqah sampai pukul 17.00, setelah shalat magrib dilanjutkan dengan hizb (tadarus) Al-Qur’an dan pengajian halaqah sampai pukul 20.15. Setelah makan malam para pelajar diharuskan mengikuti halaqah selama setengah jam untuk persiapan pelajaran pagi.


Staf Pengajar

1. Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar As-Syatiri
2. Syekh Abu Bakar Muhammad Balfaqih
3. Syekh Umar Abdurrahman Al-Atthas
4. Syekh Abdullah Abdurrahman Al-Muhdhar
5. Syekh Muhammad Ali Al-Khatib
6. Syekh Muhammad Ali Baudhan
7. Syekh Abdullah Umar bin Smith
8. Syekh Abdurrahman Muhammad Al-Muhdhar
9. Syekh Hasan Muhsin Al-Hamid
10. Syekh Abdullah Shaleh Ba’bud
11. Syekh Muhammad Al-Haddad
12. Syekh Abdullah Umar Bal Faqih
Selain para masyayikh diatas, para senior juga diwajibkan membimbing halaqah tingkat bawahnya.

Fasilitas-Fasilitas

 50 kamar
 Wartel
 Toserba
 Perpustakaan


Biaya-Biaya yang diperlukan dalam pendaftaran

a. bulanan selama satu tahun sebesar USD $ 240,-
b. Jaminan tiket pulang sebesar USD $ 500,-
c. Iqamah pertahun sebesar Ry 4000,-

 Untuk keterangan lebih lanjut bisa menghubungi :
 Al-Habib Abdurrahman bin Syekh Al-Atthas
d.a. P.T. Barfo Mahdi
Jl. Asem Baris Raya, No: 3 - Kebun Baru – Tebet – Jakarta
Telp: - Kantor: (0062)(21)8303762
830244
- Rumah: (0062)(21)8354445
 Alhabib Ali Hasan Al-Kaff, beralamatkan:JL.HasanuddinHM/
P.Samudera. No:12/4, Rt15, Banjarmasin P.O.Box:70111
Tel/Fax : (0062)(511)58472
Hp : (0062)8152119158

Penutup

Sebagian ulama Yaman yang telah belajar di Rubath Tarim, juga yang berasal dari luar negeri, antara lain:
 Al-Imam Syaikhul Islam Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar (1340-1418 H), mufti muhafazd propinsi Baidha, Yaman dan pendiri Rubath Al-Haddar lil ulumus Syariat.
 Al-Allamah Habib Hasan bin Ismail bin Syekh, pendiri Rubath Inat Hadramaut.
 Al-Allamah Al-Habr, pejabat qadhi as-syar’i Baidha, Habib Muhammad bin Husien Al-Baidhawi.
 Al-Habib Abdullah bin Abdurrahman Ibn Syekh Abu Bakar bin Salim, pendiri Rubath Syihir.
 Al-Habib Husien Al-Haddar, ulama besar kelahiran Indonesia dan meninggal di Mukalla Hadramaut.
 Al-Habib Muhammad bin Salim Bin Hafizd Ibn Syekh Abu Bakar bin Salim, pengarang dari berbagai kitab figh dan faraid ayah dari Al-Habib Ali Masyhur bin Hafizd dan Al-Habib Umar bin Hafizd pendiri ma’had Dar Al-Musthafa Tarim Hadramaut.
 Al-Habib Al-Wara’ As-Shufi Ahmad bin Umar As-Syatiri, pengarang kitab Yakutun nafis, Nailurraja’ syarah Safinatun naja’ dan sebagainya.
 Al-Habib Muhammad bin Ahmad As-Syatiri, pengarang kitab Syarah yakutun nafis, Mandzuma Al-Yawaqit fifanni Al-Mawaqit (ilmu falaq), kitab Al-Fhatawa Al-Muassyirah dan sebagainya.
 Al-Allamah Syekh Muhammad bin Salim Al-Baihani, pendiri ma’had Al’ilmi, Aden.
 Al-Allamah Habib Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Jakarta, Indonesia.
 Al-Wajih An-Nabil Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Balfaqih (wafat tahun 1381 H), pengasuh ma’had Darul Hadist Al-Faqihiyyah, Malang, Indonesia.
 Al-Faqih An-Nabil pejabat qadhi as-syar’i Banjarmasin Syekh Ahmad Said Ba Abdah.
 Habib Abdullah Al-Kaff, Tegal, Indonesia.
 Habib Ahmad bin Ali Al-Attash, pekalongan.
 Habib Abdurrahman bin Syekh Al-Attash, Jakarata.
 Habib Abdullah Syami Al-Attash, Jakarta.
 Syekh Al-Allamah Umar Khatib, Singapura.
 Habib ‘Awad Ba ’Alawi, sesepuh ulama singapura.
 Syekh Abdurrahman bin Yahya, qadhi Kelantan, Malaysia.
 Sayyid Al-Muhafizd Al-Majid Al-Adib Hamid bin Muhammad bin Salim bin Alwi As-Sirri, pengajar di Rubath Tarim dan Jam’iyatul Al-Haq di kota yang sama, kemudian pindah dan mengajar di Malang, Indonesia.
 Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, Mufti Johor, Malaysia.

Dan banyak lagi para ulama yang telah belajar di Rubath Tarim ini, yang tak mungkin disebutkan nama nama mereka yang mencapai ribuan. Habib Alwi bin Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar di Indonesia, berujar:”…tak kutemukan satu daerah atau pulau di Indonesia yang saya masuki, kecuali saya dapati orang orang yang menyebarkan ilmu disana adalah alumni Rubath Tarim ini atau orang yang belajar kepada orang yang telah belajar disini…”.

Habib Musthafa bin Ahmad Al-Muhdar menulis pada sebagian surat beliau kepada ahli Tarim:”….Ilmu As-Syatiri (Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri) teruji dengan penyebarannya menyebar kesegala penjuru, dari daerah yang satu kedaerah yang lain, menyebar ke Hindia, China, negara-negara Arab, Somalia, Malabar, dan sebagainya….”.

Sayyid Muhammad bin Salim bin Hafizd menambahkan:”…..(Habib Abdullah As-Syatiri) berhak mengatakan jika beliau mau sebagaimana yang dikatakan Imam Abi Ishaq As-Syairozi tatkala memasuki Khurasan,”tak aku dapati disatu kota pun dari kota-kota disana, Qadhi atau Alim kecuali dia adalah muridku atau murid dari muridku……..”

Demikian lah sekelumit sejarah Rubath Tarim yang panjang dan agung, yang telah belajar disana beribu-ribu ulama, al-allamah, faqih, mufti, qadhi, syair bahkan para aulia Allah SWT. Dan saat ini Rubath Tarim telah memasuki usia yang ke-121 tahun, ratusan pelajar dari Yaman, Indonesia, Malaysia, Singapura, Tanzania, Afrika, dan sebagainya tengah menimba ilmu di sana, di bawah asuhan Al-Allamah Habib Salim bin Abdullah As-Syatiri.

Allahumma ya Man waffaqa ahla khoir li khoiri wa a’annahum ‘alaihi, waffiqna lil khoiri wa a’innaa ‘alaihi, Amin.