Minggu, 27 Desember 2009

100 tokoh berpengaruh di dunia

100 tokoh dunia

Berikut ini adalah biografi “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”
yang ditulis oleh : Michael H. Hart, 1978
Dan Terjemahan oleh : H. Mahbub Djunaidi, 1982
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya
Jln. Kramat II, No. 31A
Jakarta Pusat

01. Nabi Muhammad
02. Isaac Newton
03. Nabi Isa
04. Buddha
05. Kong Hu Cu
06. St. Paul
07. Ts’ai Lun
08. Johann Gutenberg
09. Christopher Columbus
10. Albert Einstein
11. Karl Marx
12. Louis Pasteur
13. Galileo Galilei
14. Aristoteles
15. Lenin
16. Nabi Musa
17. Charles Darwin
18. Shih Huang Ti
19. Augustus Caesar
20. Mao Tse-Tung
21. Jengis Khan
22. Euclid
23. Martin Luther
24. Nicolaus Copernicus
25. James Watt
26. Constantine Yang Agung
27. George Washington
28. Michael Faraday
29. James Clerk Maxwell
30. Orville Wright & Wilbur Wright
31. Antone Laurent Lavoisier
32. Sigmund Freud
33. Alexander Yang Agung
34. Napoleon Bonaparte
35. Adolf Hitler
36. William Shakespeare
37. Adam Smith
38. Thomas Edison
39. Antony Van Leeuwenhoek
40. Plato
41. Guglielmo Marconi
42. Ludwig Van Beethoven
43. Werner Heisenberg
44. Alexander Graham Bell
45. Alexander Fleming
46. Simon Bolivar
47. Oliver Cromwell
48. John Locke
49. Michelangelo
50. Pope Urban II
51. Umar Ibn Al-Khattab
52. Asoka
53. St. Augustine
54. Max Planck
55. John Calvin
56. William T.G.Morton
57. William Harvey
58. Antoine Henri Becquerel
59. Gregor Mendel
60. Joseph Lister
61. Nikolaus August Otto
62. Louis Daguerre
63. Joseph Stalin
64. Rene Descartes
65. Julius Caesar
66. Francisco Pizarro
67. Hernando Cortes
68. Ratu Isabella I
69. William Sang Penakluk
70. Thomas Jefferson
71. Jean-Jacques Rousseau
72. Edward Jenner
73. Wilhelm Conrad Rontgen
74. Johann Sebastian Bach
75. Lao Tse
76. Enrico Fermi
77. Thomas Malthus
78. Francis Bacon
79. Voltaire
80. John F. Kennedy
81. Gregory Pincus
82. Sui Wen Ti
83. Mani
84. Vasco Da Gama
85. Charlemagne
86. Cyrus Yang Agung
87. Leonhard Euler
88. Niccolo Machiavelli
89. Zoroaster
90. Menes
91. Peter Yang Agung
92. Meng-Tse (Mencius)
93. John Dalton
94. Homer
95. Ratu Elizabeth I
96. Justinian I
97. Johannes Kepler
98. Pablo Picasso
99. Mahavira
100. Neils Bohr

Jumat, 18 Desember 2009


KH Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri),Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

ayah gus mik KH.Achmad djazuli Usman

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.

Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.

jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.

Ketika beliau berda’wak di semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas.Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan ,Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan

Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”jawab Gus miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “jawab Gus miek

Adanya sistem Da’wak yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.

Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.
Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.“Co, endang ning pondok!”“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). “Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf. Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri. Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri. Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat. Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

Selasa, 15 Desember 2009

ADAT DAN TRADISI ZIARAH NABI HUD

Di masa Syekh Abdullah Ba 'Abbad abad 7 H, ziarah Hud setiap tahunnya diadakan setelah selesai panen kurma. Rombongan beliau pimpin langsung. Kemudian pada masa Sayyid Syekh Abu Bakar bin Salim Al Alawi (w 992 H) musim ziarah Hud ditradisikan setiap tahunnya pada bulan Sya'ban.

Waktu Ziarah Hud ‘alaihis salam merupakan hari libur tahunan selama 8 hari bagi para pekerja dan petani. Biasanya, jauh-jauh hari, sebelum datangnya waktu ziarah, mulai Jumadil Tsani banyak hal yang dilakukan untuk persiapan berangkat ziarah. Di antaranya, mengutus para motivator ke masjid-masjid, menjelaskan pemberangkatan ziarah dan mengulas tentang sejarah Nabi Hud ‘alaihis salam. Hal ini dilakukan untuk memberi motivasi pada masyarakat umum tentang pentingnya ziarah.
Tahwidah adalah lantunan pada waktu membaca syair-syair yang memberi motivasi untuk berziarah Hud AS. Biasanya dilakukan setelah acara maulid pada hari Rabu akhir bulan Rajab.
Setelah selesai, jama’ah membentuk barisan. Setiap baris terdiri dari 20 hingga 50 orang, dipimpin oleh seorang nassyad (pemimpin pelantun suara). Mereka melantunkan syair-syair mengikuti bacaan nassyad, seperti kalimat ‘ya Hud ya Nabiullah.’
Beberapa hari sebelum ziarah, para pekerja, khususnya keluarga Ba 'Abbad, berangkat terlebih dahulu ke tempat ziarah, untuk memperbaiki tempat yang rusak, seperti masjid, rumah dan jalanan.
Tanggal 27 Rajab, peziarah diklasifikasikan dalam beberapa rombongan. Setiap rombongan memiliki ketua. Tugas ketua antara lain menertibkan dan membagi tugas pada setiap anggota rombongan.
Setelah semuanya siap, mereka berangkat ke lokasi Makam Nabi Hud ‘alaihis salam. Masyarakat Seiyun, Shibam dan kawasan barat Shibam berangkat pada tanggal 4 atau 5 Sya'ban. Sedangkan penduduk Tarim dan kawasan timur Tarim berangkat pada tanggal 7 atau 9 Sya'ban.
Sebelum berangkat, masing-masing peziarah mengadakan kesepakatan dengan pemilik unta, tentang ongkos sewa pulang pergi. Namun sebelumnya, unta dibawa ke tempat lapangan penawaran ongkos tunggang yang letaknya di Tarim. Unta-unta, oleh pemiliknya dilatih untuk mampu lari kekencang-kencangnya. Masing-masing unta yang akan ditunggangi, pelananya dihias dengan seni dan hiasan yang berbeda satu sama lainnya. Kemudian peziarah berangkat secara berkelompok. Setiap kelompok memiliki penjaga yang dipilih dari sukunya masing-masing. Rombongan tidak boleh berjalan kecuali dengan penjaganya.
Di tengah perjalanan menuju makam Nabi Hud, banyak hal-hal yang dilakukan para peziarah. Di antaranya ziarah ke makam-makam yang ada di sepanjang perjalanan. Mereka mengumandangkan syair-syair yang mengandung makna tawasul kepada para arwah. Juga ketika rombongan melewati kota dan desa, peziarah menyuarakan julukannya. Mengingat setiap tempat kota dan desa di Hadhramaut ada julukannya masing-masing.
Di Syi'ib Hud (lembah kecil Hud), dibangun tempat-tempat sesuai kebutuhan peziarah selama di sana, berupa rumah, masjid dan pasar. Setiap kabilah memiliki tempat tinggal masing-masing yang dibangun seizin keluarga besar Ba 'Abbad.
Sebelum ziarah ke makam Nabi Hud ‘alaihis salam, semua peziarah mandi di sungai, dipimpin oleh ketua sukunya (Munshib, Habib atau Syekh). Setelah mandi, peziarah berebutan ke sisi ketuanya, untuk minum air sungai yang diambil dengan tangan ketua. Setelah mandi dan minum, mereka melaksanakan shalat sunnah wudlu’ dua rakaat di Hashah Umar, yaitu tempat di pinggir sungai yang biasa ditempati shalat oleh para peziarah sehabis mandi di sungai.
Setelah shalat sunnah wudlu’, mulailah mereka beriringan menuju makam Nabi Hud ‘alaihis salam. Di tempat antara makam Nabi Hud ‘alaihis salam dan sungai, mereka berhenti sejenak di sumur Taslimah. Dengan dipimpin munshib, peziarah mengumandangkan salam kepada arwah Rasul dan Nabi serta salam kepada para Malaikat. Setelah selesai, peziarah melanjutkan perjalanannya ke makam Hud ‘alaihis salam. Sesampai di sana, dalam posisi berdiri di depan makam Nabi Hud, mereka mengumandangkan salam kepada para arwah Rasul, arwah Nabi dan Malaikat. Kemudian peziarah duduk membaca surat Hud dan ditutup dengan membaca Surat al-Fatihah. Setelah selesai, semuanya turun ke tempat naqah, yaitu tempat yang terletak di bawah makam nabi Hud. Mereka membaca maulid (sejarah kelahiran dan kehidupan Nabi Muhammad SAW) dan mendengarkan mau'idzah hasanah. Setelah itu, ritual ziarah selesai dan ditutup dengan membaca Surat al-Fatihah.
Ziarah Hud dilakukan selama empat hari. Setiap harinya, dua kali pagi dan sore, dengan cara yang sama seperti di atas. Hari ke empat tanggal 11 Sya'ban adalah hari penutup (waqfah). Ziarah penutup khusus dipimpin oleh munsib (ketua Kabilah) dari keluarga Syekh Abu Bakar bin Salim.
Di sela-sela ziarah, malam harinya, peziarah menampilkan pertunjukannya. Merka juga saling bersilaturrahim satu sama lainnya.
Setelah aktifitas ziarah selesai, para peziarah bergegas pulang ke daerahnya masing dengan tertib. Dimulai dari rombongan Keluarga Alawi, Keluarga Seiyun dan daerah barat Seiyun. Mereka berangkat pulang setelah shalat Ashar tanggal 11 Sya'ban. Sedangkan penduduk Tarim pulang esok harinya pada tanggal 12 Sya'ban. Keluarga bin Syihab dan Syeh Abu Bakar bin Salim pulang tanggal 15 Sya'ban, karena tanggal 14 Sya'ban (malam nisfu sya'ban) mereka membaca doa Sya'ban di makam Nabi Hud ‘alaihis salam.
Saat pulang, para peziarah biasanya membawa oleh-oleh untuk keluarga dan tetangganya. Ada yang membagikan sisa bekal, ada pula yang membeli oleh-oleh di tengah perjalanan. Juga tak lupa, oleh-oleh untuk anak kecil yang berupa mainan bangunan, unta, himar (keledai, red) dan baghal (peranakan himar dan keledai, red) yang terbuat dari tembikar.

keutamaa makkah al mukarromah

Keutamaan Makkah Al Mukarramah

Makkah merupakan tempat yang dimuliakan dan disucikan oleh Allah SWT. Buktinya adalah seringnya kata Makkah disebut-sebut dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Kata Makkah sering disebut-sebut dalam Al Qur’an dengan redaksi yang berbeda-beda. Jika sesuatu sering disebut dengan beraneka nama, hal ini megisaratkan bahwa tempat atau nama tersebut memilki nilai tinggi serta mulia bahkan mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki lainnya.

Misalkan kata pedang dalam bahasa Arab disebut Saif, Muhannad, Sorim, Silah, Battar dan lain-lain yang kesemuanya mempunyai makna yang sama yaitu pedang. Begitu juga kata harimau dalam bahasa Arab disebut Asad, Usama, Haidar, Laits, Fahad dan lain-lain, yang kesemuanya bermakna satu yaitu singa. Pedang dan harimau mempunyai banyak padanan kata karena dua kata itu dianggap memiliki kehebatan dan keistimewaan.

Dalam literatur Islam, sejak zaman jahiliyah kuno sampai saat ini banyak sekali orang Arab memberi nama putra-putranya dengan nama Usama, Fahad, Laits, dengan maksud bila nama-nama ini disebut, kabilah-kabilah lain yang mendengarnya akan merasa gentar dan ketakutan. Sebab Fahd, Usamah dan Laits merupakan binatang yang sangat hebat dan kuat bahkan menakutkan.

Nama-Nama Tanah Suci Makkah
1. Makkah
Tanah Haram Makkah adalah salah satu kota suci yang sering disebut oleh Al-Qur’an dan hadits. Makkah adalah nama yang sering disebut serta akrab ditelingga umat islam, Allah SWT dalam Al qur’an QS, Al Fath 23 yang berbunyi :” Artinya “
Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
2. Bakkah
Makkah disebut juga dengan Bakkah yang berarti tunduk, nama ini mengisaratkan pada tempat yang penuh dengan barokah berdasarkan Al Qur’an (QS al-An’am: 92)”Artinya “
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Dalam literatur islam, yang di maksud Bakkah adalah siapa pun yang datang ke Makkah akan tunduk dengan keagungan Ka’bah.
3. Umm Al Qura.
Dalam ayat lain Makkah juga disebut Umm al-Qura, bahkan nama ini dijadikan nama Universitas “ Umm Al Qura University”. Kampus ini sangat terkenal dan tidak asing, letaknya di Al Aziziyah dan dikembangkan di Abidiyah. Nama Umm Al Qura bersumber dari Aq Qur’an (QS al-An’am: 92 ) yang berbunyi;”
Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sholatnya.

Dinamakan Umm Al qura, karena memiliki kemulyaan (lebih mulya dan utama) dari pada tempat lain serta lebih dicintai Allah SWT dan Rosulullah SAW.
4. Al Baladul Amin
Allah SWT juga menyebut tanah Haram dengan Al Balad Al Amin, ini tertuang dalam surat Al-Balad, bahkan Allah bersumpah dengan ‘’Al Balad” berdasarkan QS-Al Tin yang berbunyi” Artinya “
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun. Demi bukit Sinai. Dan demi kota (Makkah) ini yang aman.
Surat ini mengisaratkan keistimewaan yang dimiliki kota Makkah, karena Allah telah bersumpah dengannya.
5. Al Baldah.
Allah menyebut kota Makkah dengan Al Baldah, berdasarkan QS, An-Naml 91 yang berbunyi”Artinya”
Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Makkah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.

Nama-nama diatas adalah nama yang disebutkan didalam Al qur’an, masih banyak lagi nama yang belum disebutkan. Banyaknya sebutan untuk Makkah dalam al-Qur'an ini juga menunjukan banyaknya keistimewaan dan keutamaan yang dimilikinya.

Satu lagi keistimewaan Makkah Al-Mukarramah yang tidak dimiliki oleh tempat lain yaitu bahwa Makkah menjadi tempat kelahiran makhluk yang paling mulia diantara makhluk lainya. Dialah Muhammad, Rasulullah SAW, sebagai Nabi dan utusan terakhir yang membawa risalah besar untuk jin dan manusia serta sebagai rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin).
Selain itu, Makkah menjadi tempat turunnya wahyu (al-Qur'an). Allah juga memilih Makkah sebagai tempat istimewa dalam penanaman akidah serta perjuangan Nabi selama tiga belas tahun dalam mendidik para sahabatnya sehingga menjadi generasi pertama Islam di bawah bimbingan Rasulullah SAW.

Allah SWT mengistimewakan Makkah tidak hanya dengan keberadaan Rasulullah SAW di sana, tetapi juga keberadaan kuil tua yang berumur ribuan tahun yang berdiri kokoh dan berwibawa yaitu Ka’bah al-Musyarrafah. Manusia setiap tahun menziarahinya, jutaan umat manusia siang dan malam dari berbagai penjuru dunia datng mengelilinginya. Dialah, rumah yang pertama kali dibangun di muka bumi ini. Allah SWT meyebutnya Baitullah dalam surat Ali Imran ayat 96.

Makkah dan Baitullah adalah dua nama yang tak terpisahkan. Keduanya terkait dan mempunyai makna yang istimewa serta penuh nuansa historis. Keduanya menjadi tujuan kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia yang merindukan dan mengaguminya dengan mengharap ridha Ilahi.

Satu hal lagi keistimewaan Makkah yang tidak ditemukan di tempat lain, yaitu Zam-zam. Mata air ini mengalir sepanjang musim, baik musim hujan, panas, atau dingin. Keberadaannya melengkapi keistimewaan lain kota Makkah selain keberadaan Rasulullah, Ka’bah dan al-Qur'an.

Sungguh sempurna Makkah Al-Mukarramah. Dihiasi dengan Manusia paling sempurna, dibangun Baitullah yang begitu indah dan agung yang dikelilingi malikat, jin dan manusia siang dan malam sepanjang zaman. Tempat diturunkanya wahyu yang dibawa langsung oleh Jibril AS, serta terdapat mata air yang sangat jernih kaya dengan mineral yang memanacar disudut ka’bah. Begitulah Makkah, ia akan selalu suci dan disucikan Allah walupun manusia jauh dari perintah-Nya.

Keistimewaan Makkah tidak hanya pada namanya yang banyak, tetapi Makkah juga mepunyai karateristik yang unik dan menarik serta keistimewaan yang tidak dimiliki tempat lain dimuka bumi ini. Beberapa keutamaan Makkah antara lain:
1. Tempat dibangunnya Baitullah (Ka’bah), dan dibolehkan sholat sunnah diwaktu yang terlarang (HR. Abu Dawud).
2. Tempat kelahiran manusia sempurna (utusan Allah) Nabi Muhammad SAW. Kehadiran beliau di muka bumi merubah dunia dari kegelapan menjadi bercahaya dengan sinarnya. Merupakan kewajiban bagi umatnya menziarahi beliau baik yang dekat maupun yang jauh jika mampu.
3. Tempat yang suci dari orang-orang non-Muslim, karena tidak diperbolehkan bagi non-Muslim masuk ke dalamnya berdasarkan teks yang sangat jelas. Bagi kaum muslimin yang memasukinya harus benar-benar khusyu’, tawadlu’ serta meninggalkan bentuk pakaian dan jabatan serta perhiasan dunia.
4. Tempat yang aman bagi siapa saja yang memasukinya, dan diharamkankan saling membunuh di dalamnya (perang) atau memasukinya dengan membawa senjata.
5. Tempat yang mendapatkan dispensasi bagi orang-orang yang bertaubat, dan mendapatkan pengampunan, serta dilipatgandakan bagi yang beramal sholih.
6. Satu-satunya tempat yang disyariatkan thawaf (keliling Ka’bah). Thawaf juga termasuk penghapus dosa dan kesalahan dan dicatat sebagai amal kebaikan, bahkan pahalanya diibaratkan memerdekakan budak (Riwayat Al Hakim , Al Mustadrok Ala Al Shohihain).
7. Allah tidak memerintahkan untuk berkunjung ke mana pun kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid an-Nabawi, serta Masjidil al-Aqsha (HR. Al Bukhari).
8. Satu-satunya kiblat umat Islam dari seluruh penjuru dunia dan tidak ada tempat yang diperintahkan untuk melambaikan (mengecup) kecuali Hajar Aswad. Dengan kecupan bisa melunturkan dosa-dosa yang melekat dalam jasad dan hati manusia. (HR. At Tirmidzi)
9. Makkah juga tempat beribadah yang digandakan semua bentuk ibadah menjadi seratus ribu kali dari yang dilakukan di luar kota Makkah (HR. Al Bukhari).
10. Tidak dipebolehkan membelakangi Ka’bah ketika buang hajat sebagai tanda keagungan Baitullah al-Haram.
11. Malaikat selalu menjaga setiap saat, agar tidak disinggahi Dajjal dan pengikutnya.

HABIB ANIS AL HABSYI


Tokoh ulama yang khumul lagi wara`, pemuka dan sesepuh habaib yang dihormati, Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi rahimahumullah telah kembali menemui Allah s.w.t. pada tanggal 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006 dalam usia kira-kira 78 tahun. Habib Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi s.a.w. Beliau menjalankan dakwahnya berdasarkan kepada ilmu dan amal taqwa, dengan menganjurkan dan mengadakan majlis-majlis ta’lim dan juga majlis-majlis mawlid, dalam rangka menumbuhkan mahabbah umat kepada Junjungan Nabi s.a.w. Selain berdakwah keliling kota, sehingga muridnya menjangkau puluhan ribu orang di merata-rata tempat. beliau memusatkan kegiatan dakwah dan ta’limnya di masjid yang didirikan oleh ayahanda beliau, al-Habib Alwi bin ‘Ali al-Habsyi, yang dikenali sebagai Masjid ar-Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon, Solo (Surakarta), Jawa Tengah.

Dalam majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab diadakan Khatmil Bukhari, iaitu khatam pengajian kitab “Jami` ash-Shohih” tersebut. Setiap malam Jumaat pula diadakan majlis mawlid dengan pembacaan kitab mawlid “Simthuth Durar” karya nenda beliau yang mulia al-Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi. Manakala setiap malam Jumaat Legi diadakan satu majlis taklim dan mawlid dalam skala besar dengan dihadiri ramai masyarakat awam dari pelbagai tempat yang terkenal dengan Pengajian Legian, di mana mawlid diperdengarkan dan tausyiah-tausyiah disampaikan kepada umat.

Peringatan mawlid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan haul Imam Ali al-Habsyi disambut secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah – tamah dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan istimewa.

Kemurahan hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan disegani ramai. Sungguh tangan beliau sentiasa di atas dengan memberi, tidak sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta. Inilah antara ketinggian akhlak Habib Anis al-Habsyi rhm. Sungguh kemuliaannya bukanlah semata-mata faktor keturunannya yang umpama bintang bergemerlapan, tapi juga kerana ilmunya, taqwanya, waraknya dan akhlaknya yang mencontohi akhlak para leluhurnya terdahulu. Para leluhurnya yang terkenal dengan ketinggian akhlak mereka sehingga telah menawan hati segala rumpun Melayu rantau sini untuk memeluk agama Islam yang mulia.

Sedih dan pilu rasa hati, seorang demi seorang ulama kita kembali ke hadhrat Ilahi. Khuatir kita jika tiada pengganti mereka, yang meneruskan usaha mereka untuk menyeru kepada Allah dan rasulNya. Bermohon kita kepada Allah dengan sebenar-benar dan setulus-tulus permohonan, agar yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Kita sentiasa memerlukan bimbingan berkesinambungan daripada para ulama dan daie yang mukhlisin lagi berakhlak mulia, agar kejahilan dan keruntuhan akhlak tidak berleluasa. Hari ini selesailah permakaman beliau di Kota Solo di kompleks makam Masjid ar-Riyadh di sisi ayahandanya al-Habib Alwi bin Ali al-Habsyi. Kami ucapkan selamat jalan kepada Habib yang dikasihi. Mudah-mudahan musibah ketidaksampaian kami menziarahinya sebelum kewafatannya diberi ganjaran oleh Allah dengan kesudianNya menghimpunkan kami besertanya di syurga penuh keni’matan di samping nendanya yang mulia Junjungan Nabi s.a.w.


Selamat jalan, ya Habibana
Kuharap nanti di sana kita kan bisa kumpul kembali
Di tempat lebih santai, lebih nyaman, lebih mulia
Berbanding dunia yang penuh pancaroba

Ya Habibana,
Kepergianmu menyayat hati setiap muhibbin merasa
Kepergianmu dalam suasana kami masih perlukan bapa
Yang nasihatnya menusuk sanubari dan masuk kepala
Tapi tiada siapa dapat menolak ketentuan Yang Maha Esa
Ya Habibana
Musibah ini kami terima dengan redha
Semoga musibah kami atas kehilanganmu diberi pahala
Diberi ganjaran apa yang kami damba
Berkumpul bersamamu di Jannatul Firdaus al-A’la
Bi jiwari an-Nabiyyil Mukhtar al- Musthofa
Ya Habibana,
Kepergianmu kami iringi doa
Agar kasih sayang Allah buatmu sepanjang masa
Dicurahkan persemayamanmu hujan rahmat tiap ketika
Ditinggikan darjat serta diberi sinar cahaya
Kesunyianmu dihilangkan dan kebajikanmu diganda
Bagi kami dan bagimu perlindungan Allah sentiasa
Diselubungi kedamaian penjagaanNya yang sempurna
Selamat jalan, ya Habibana
Damailah dikau di sana
Jangan lupakan kami para muhibbin yang masih di dunia
Doakan agar kami menuruti ajaran nendamu yang mulia
Biar kami mati membawa iman, ketaatan dan kasih cinta
Pada Allah, pada Rasul, pada sholihin, pada agama
Selamat jalan, ya Habibana
Kepergianmu kuiringkan doa
————————————————————————————-


Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.

Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.

Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.

Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.

Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.

Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.

Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.

Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.

Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.

Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.

Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.

Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.

Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.

Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”

Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.

Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.

Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.

Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.

Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……

Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”

Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”

TENTANG SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM

Aurad al-Awliya’ sempena menyambut rangka khaul Al-’Allamah Al-Habib Syeikh Abu Bakar bin Salim

Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah syeikh Islam dan teladan manusia. Pemimpin alim ulama. Hiasan para wali. Seorang yang amat jarang ditemukan di zamannya. Da’i yang menunjukkan jalan Illahi dengan wataknya.

Pembimbing kepada kebenaran dengan perkataannya. Para ulama di zamannya mengakui keunggulannya. Dia telah menyegarkan berbagai warisan pendahulu-pendahulunya yang saleh. Titisan dari Hadrat Nabawi. Cabang dari pohon besar Alawi. Alim Rabbani. Imam kebanggaan Agama, Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi, semoga Allah meredhainya.

Beliau lahir di Kota Tarim yang makmur, salah satu kota di Hadramaut, pada tanggal 13 Jumadi Ats-Tsani, tahun 919 H. Dia kota itu, dia tumbuh dengan pertumbuhan yang saleh, di bawah tradisi nenek moyangnya yang suci dalam menghafal Al-Quran.

Orang-orang terpercaya telah mengisahkan; manakala beliau mendapat kesulitan menghafal Al-Quran pada awalnya. Ayahnya mengadukan halnya kepada Syeikh Al-Imam Syihabuddin bin Abdurrahman bin Syeikh Ali. Maka Syeikh itu bertutur: “Biarkanlah dia! Dia akan mampu menghafal dengan sendirinya dan kelak dia akan menjadi orang besar. Maka menjadilah dia seperti yang telah diucapkan Syeikh itu. Serta-merta, dalam waktu singkat, dia telah mengkhatamkan Al-Quran.

Kemudian dia disibukkan dengan menuntut ilmu-ilmu bahasa Arab dan agama dari para pembesar ulama dengan semangat yang kuat, kejernihan atin dan ketulusan niat. Bersamaan dengan itu, dia memiliki semangat yang menyala dan ruh yang bergelora. Maka tampaklah tanda-tanda keluhurannya, bukti-bukti kecerdasannya dan ciri-ciri kepimpinannya. Sejak itu, sebagaimana diberitakan Asy-Syilly dalam kitab Al-Masyra’ Ar-Rawy, dia membolak-balik kitab-kitab tentang bahasa Arab dan agama dan bersungguh-sungguh dalam mengkajinya serta menghafal pokok-pokok dan cabang-cabang kedua disiplin tersebut. Sampai akhirnya, dia mendapat langkah yang luas dalam segala ilmu pengetahuan.

Dia telah menggabungkan pemahaman, peneguhan, penghafalan dan pendalaman. Dialah alim handal dalam ilmu-ilmu Syariat, mahir dalam sastra Arab dan pandai serta kokoh dalam segenap bidang pengetahuan.

Dalam semua bidang tersebut, beliau telah menampakkan kecerdasannya yang nyata. Maka, menonjollah karya-karyanya dalam mengajak dan membimbing hamba-hamba Allah menuju jalan-Nya yang lurus.

Guru-guru beliau

Para guru beliau antara lain; Umar Basyeban Ba’alawi, ahli fiqih yang saleh, Abdullah bin Muhammad Basahal Bagusyair dan Faqih Umar bin Abdullah Bamakhramah. Pada merekalah dia mengkaji kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Bajamal Asy-Syibamy dan Ad-Dau’any juga termasuk guru-guru beliau.

Hijrahnya dari Tarim

Dia beranjak dari Kota Tarim ke kota lain bertujuan untuk menghidupkan pengajian. memperbarui corak dan menggalakkan dakwah Islamiyah di jantung kota tersebut. Maka berangkatlah beliau ke kota ‘Inat, salah satu negeri Hadramaut. Dia menjadikan kota itu sebagai kota hijrahnya. Kota itu dia hidupkan dengan ilmu dan dipilihnya sebagai tempat pendidikan, pengajaran dan pembimbingan. Tinggallah di sana hingga kini, masjid yang beliau dirikan dan pemakaman beliau yang luas. Syahdan, berbondong-bondonglah manusia berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk menimba ilmunya. Murid-murid beliau mengunjunginya dari beragam tempat: Hadramaut, Yaman, Syam, India, Indus, Mesir, Afrika, Aden, Syihr dan Misyqash.

Para murid selalu mendekati beliau untuk mengambil kesempatan merasai gambaran kemuliaan dan menyerap limpahan ilmunya. Dengan merekalah pula, kota ‘Inat yang kuno menjadi berkembang ramai. Kota itu pun berbangga dengan Syeikh Imam Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi. Karena berkat kehadiran beliaulah kota tersebut terkenal dan tersohor, padahal sebelumnya adalah kota yang terlupakan.

Tentang hal itu, Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Katsiry bersyair:

Ketika kau datangi ‘Inat, tanahnya pun bedendang

Dari permukaannya yang indah terpancarlah makrifat

Dahimu kau letakkan ke tanah menghadap kiblat

Puji syukur bagi yang membuatmu mencium tanah liatnya

Kota yang di dalamnya diletakkan kesempurnaan

Kota yang mendapat karunia besar dari warganya

Dengan khidmat, masuklah sang Syeikh merendahkan diri

Duhai, kota itu telah terpenuhi harapannya.

Akhlak dan kemuliaannya

Dia adalah seorang dermawan danmurah hati, menginfakkan hrtanya tanpa takut menjadi fakir. Dia memotong satu dua ekor unta untuk para peziarahnya, jika jumlah mereka banyak. Dan betapa banyak tamu yang mengunjungi ke pemukimannya yang luas.

Dia amat mempedulikan para tamu dan memperhatikan keadaan mereka.Tidak kurang dari 1000 kerat roti tiap malam dan siangnya beliau sedekahkan untuk fuqara’. Kendati dia orang yang paling ringan tangannya dan paling banyak infaknya, dia tetap orang yang paling luhur budi pekertinya, paling lpang dadanya, paling sosial jiwanya dan paling rendah hainya. Sampai-sampai orang banyak tidak pernah menyaksikannya beristirehat.

Syeikh ahli fiqih, Abdurrahman bin Ahmad Bawazir pernah berkata: “Syeikh Abu Bakar selama 15 tahun dari akhir umurnya tidak pernah terlihat duduk-duduk bersama orang-orang dekatnya dan orang-orang awam lainnya kecuali ntuk menanti didirikannya saolat lima waktu”.

Syeikh sangat mengasihani orang-orang lemah dan berkhidmat kepada orang-orang yang menderita kesusahan. Dia memperlihatkan dan menyenangkan perasaan mereka dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik.

Di antara sekian banyak akhlaknya yang mulia itu adalah kuatnya kecintaan, rasa penghormatan dan kemasyhuran nama baiknya di kalangan rakyat. Selain murid-murid dan siswa-siswanya, banyak sekali orang berkunjung untuk menemuinya dari berbagai tempat; baik dari Barat ataupun Timur, dari Syam maupu Yaman, dari orang Arab maupun non-Arab. Mereka semua menghormati dan membanggakan beliau.

Maqq, Syeikh Abu Bakar
Maqq, Syeikh Abu Bakar

Ibadah dan pendidikannya

Seringkali dia melakukan ibadah dan riyadhah. Sehingga suatu ketika dia tidak henti-hentinya berpuasa selama beberapa waktu dan hanya berbuka dengan kurma muda berwarna hijau dari Jahmiyyah di kota Lisk yang diwariskan oleh ayahnya. “Di abnar, dia berpuasa selama 90 hari dan selalu sholat Subuh dengan air wudhu Isya’ di Masjid Ba’isa di Kota Lask. Dalam pada itu, setiap malamnya di berangkat berziarah ke makam di Tarim dan sholat di masjid-masjid kota itu. Di masjid Ba’isa tersebut, dia selalu sholat berjamaah. Menjelang wafat, beliau tidak pernah meningalkan sholat Dhuha dan witr.

Beliau selalu membaca wirid-wirid tareqat. Dia pribadi mempunyai beberapa doa dan salawat. Ada sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut “Hizb al-Hamd wa Al-Majd” yang dia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.

Ziarah ke makam Nabi Allah Hud a.s adalah kelazimannya yang lain. Sehingga Al-Faqih Muhammad bin Sirajuddin mengabarkan bahawa ziarah beliau mencapai 40 kali.

Setiap malam sepanjang 40 tahun, dia beranjak dari Lask ke Tarim untuk sholat di masjid-masjid kedua kota tersebut sambil membawa beberapa tempat minum untuk wudhu, minum orang dan hayawan yang berada di sekitar situ.

Ada banyak pengajaran dan kegiatan ilmiah yang beliau lakukan. Konon, dia membaca kitab Al-Ihya’ karya Al-Ghazzali sebanyak 40 kali. Beliau juga membaca kitab Al-Minhaj-nya Imam Nawawi dalam fiqih Syafi’i sebanyak tiga kali secara kritis. Kitab Al-Minhaj adalah satu-satunya buku pegangannya dalam fiqih. Kemudian dia juga membaca Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah di depan gurunya, Syaikh Umar bin Abdullah Bamakhramah.

Karya-karyanya

Antara lain:

- Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau karang sebelum usianya melampaui 17 tahun.

- Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.

- Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 bulan Dzul-Hijjah.

- Ma’arij At-Tawhid

- Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.

Kata Mutiara dan Untaian Hikmah

Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:

Pertama:

Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.

Kedua:

Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.

Ketiga:

Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.

Keempat:

Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.

Kelima:

Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (‘Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.

Keenam:

Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.

Ketujuh:

Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat – kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.

Kelapan:

Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

Kesembilan:

Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.

Kesepuluh:

Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.

Kesebelas:

Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.

Keduabelas:

Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).

Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.

Manaqib (biografi) beliau

Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar. Antara lain:

- Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.

- Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.

- Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-’Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.

Jumat, 11 Desember 2009

PERJALANAN AL IMAM AHMAD AL MUHAJIR

Al-Imam Ahmad Al-Muhajir

[Al-Imam Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]

Beliau adalah Al-Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau adalah seorang yang tinggi di dalam keutamaan, kebaikan, kemuliaan, akhlak dan budi pekertinya. Beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah.

Beliau berasal dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika beliau mencapai kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana hal-hal yang bersifat baik dan buruk.

Beliau di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika beliau mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, “Bersegeralah kalian lari kepada Allah…”

Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid’ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa.

Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Ustman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.

Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak-anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba’alawy), Bashri (kakek keluarga Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah orang-orang sunni, ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan sholeh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau).

Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu beliau melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, beliau lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.

Semenjak beliau menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman.

Masuknya beliau ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, “Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba’alawy, maka tidak ada kebaikan padanya.” Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Ba’alawy, sambil berkata, “Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta.”

Radhiyallohu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]

Biografi Al Imam Al Muhajir

Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa lahir di kota Bashra Iraq tempat tinggal keluarga dan sanak saudaranya, para ahli sejarah berselisih tentang tanggal kelahiran Al Imam Al Muhajir, namun Saiyid Muhahammad Dhiya' Shihab dalam kitab beliau yang berjudul Al Imam Al Muhajir mengatakan: sejauh pengetahuan kami tak seorang pun yang mengetahui umur Al Imam Al Muhajir secara pas, boleh jadi karena literature yang mengungkapkan hal tersebut telah sirna, akan tetapi dari sedikit data yang kami miliki kami dapat mengambil satu kesimpulan, dan boleh jadi kesimpulan yang kami ambil ini sesuai dengan fakta, lalu dia mengatkan setelah dipelajari dan diperbandingkan dari sejarah pekerjaan anak-anak beliau dan sebagian guru-guru beliau, bisa disimpulkan bahwa Al Imam Al Muhajir dilahirkan pada tahun 273 H. Saiyid Salim bin Ahmad bin Jindan mengatakan di kitab Muqaddimah Musnad-nya bahwa Al Muhajir belajar kepada Al Nablisi Al basri ketika beliau berumur 4 th, dari sini disimpulkan bahwa beliau dilahirkan pada 279H.

Al Muhajir tumbuh dan berkembang dibawah Asuhan kedua orang tua nya dengan nuansa keilmuan religi yang sangat kental, demikina diungkapkan oleh Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Shatiri, dalam kitabnya Adwaar Al Tarikh Al Hadhramy.
Masa yang dilalui Al Muhajir adalah masa yang dipenuhi dengan ragam peradaban dan warna-warni ilmu pengetahuan, seperti ilmu Shariah, filsafat, falak, satra, tasawuf, matematika dan lain-lain, dikatakan bahwasanya Al Muhajir banyak mengambil riwayat dari ulama' pada zamannya, diantara mereka, Ibnu Mundah Al Asbahani, Abdul Karim Al Nisai, Al Nablisi Al bashri, banyak pula para ulama' yang mengambil riwayat dari nya seperti Alhafidh Al Daulabi (di bashrah 306H), Ibnu Shaid, Al Hafidh Al Ajury, Abdullah bin Muhammad bin Zakariya Al Aufi Al Muammar Al Bashri, Hilal Haffar Al Iraqi, Ahmad bin Said Al Ashbahani, Ismail bi Qasim Al Hisasi, Abu Al Qasim Al Nasib Al Baghdadi, Abu Sahl bin Ziyad, dan lain-lain.

Sebagaimana disebutkan bahwa masa ini makmur dengan ilmu dan budaya namun disisi lain masa ini pun marak dengan fitnah, pertikaian, bentrok pemikiran dan senjata, Al Muhajir memandang masa itu sebagai masa kritis yang penuh dengan cobaan dan penderitaan, Negara-negara islam mulai meleleh persatuan pandangan dan politiknya, dan berkembang menjadi unstabilitas sosial dan pertumpahan darah.

Revolusi Negro dan Fitnah Karamitah

Kehidupan Al Muhajir semenjak muda hingga dewasa diwarnai dengan guncangan-guncangan social dibashrah[1] dan Iraq secara umum, mulai dari revolusi negro yang berawal pada tahun 225, pada masa pemerintahan Negri Abbasiyah, sampai fitnah yang disebarkan oleh Karamitah, sebuah sekte yang dipimpin oleh Yahya bin Mahdi di Bahrain, dia dengan para pengikutnya bekerja keras untuk membiuskan paham-pahamnya disemua lapisan masyarakat dan menggunakan situasi guncang akibat revolusi negro dan fitnah Khawarij untuk memepercepat pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Terpencarnya Bani Abi Thalib

Seorang Ahli Sejarah, Abdullah bin Nuh menuliskan dalam tambahannya untuk kitab Al Muhajir hal 37 tentang kesaksian Al Muhajir tentang terpencarnya Bani Alawi ke penjuru dunia, seperti India, Sumatra, kepulauan Ujung timur, dan perbatasan cina, yang mana hal ini merupakan sebab tersebarnya agama islam diseluruh dunia.

Kepribadian Al Muhajir di Bashrah[2]

Kepribadian Almuhajir dibentuk oleh suasana yang penuh dengan pertentangan, ilmu, sastra, falsafat, pertumpahan darah, rasa takut, pertikaian disamping giatnya gerakan roda perdagangan dan pertanian, bahkan Almuhajir menyaksikan kapal-kapal besar bersandar di Bashrah dengan membawa barang dagangan hasil bumi, dan orang-orang dari berbagai bangsa. Keluarga Al Muahajir termasu keluarga terhormat yang bersih hatinya, penuh keberanian, kedudukan dan kekayaan dibarengi dengan taqwa dan istiqamah. Saudara Al Muhajir Muhammad bin Isa adalah panglima perang dan pemimpin expansi wilayah islam.

Hijrah Al Muhajir dari Bashrah

Hijrah Al Imam Al Muhajir di dorong oleh keinginan untuk menjaga dan melindungi keluarga dan sanak familinya dari bahaya fitnah yang melanda Iraq diwaktu itu.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Al Muhjir memutuskan untuk hijrah ke hijaz, maka disodorkanlah berbagai alasan untuk meyakinkan keluarga dan sanak familinya untuk meninggalkan bashrah, dan mereka pun menyetujui usulan Al Muhajir. Hijrah Al Muhajir terjadi pada 317 H dari Bashrah ke Al MAdinah Al Munawwarah. Diantara keluarga dan sanak famili Al Muhajir yang ikut berhijrah bersama Al Muhajir adalah:
1. Al Imam Al Muhajir Ilaa Allah Ahmad bin Isa.[3]
2. Zainab binti Abdullah bin Hasan Al Uraidli Isteri Al Muhajir
3. Abdullah bin Ahmad putra Al Muhajir
4. Ummul Banin binti Muhammad bin Isa bin Muhammad Isteri Abdullah bin Ahmad.
5. Ismail bin Abdullah bin Ahmad yang dijuluki dengan Al Bashry
6. Al Syarif Muhammad bin Sulaiman bin Abdillah kakek Keluarga Al Ahdal[4].
7. Al Syarif Ahmad Al Qudaimi kakek keluarga Al Qudaim [5]
8. 70 orang dari oarng-orang dekat Al Muhajir diantara mereka: hamba sahaya Al Muhajir, Jakfar bin Abdullah Al Azdiy, Mukhtar bin Abdullah bin Sa'ad, dan Syuwaiyah bin Faraj Al Asbahani.

Rombongan Al Muhajir berhijrah ke madinah melalui jalan Syam karena jalan yang biasa dilalui kurang aman[6], dan sampai di Madinah pada tahun 317, konon di tahun ini terjadi fitnah besar di Al Haramain, gerakan Karamithah masuk ke Makkah Al Mukarramah di musim haji dan membuat keributan di sana serta mengambil hajar aswad dari tempatnya[7]. Pada tahun berikutnya 318H Al Muhajir beserta keluarga berngkat ke Makkah untuk melaksanakan Ibadah Haji, konon para jamaah haji pada tahun itu hanya meletakkan tangan mereka di tempat hajar aswad, disaat melaksanakan Ibadah haji Al Muhajir bertemu dengan rombongan dari Tihamah dan Hadhramaut, belajarlah mereka dari Al Muhajir ilmu dan akhlak, dan mereka menceritakan kepada Al Muhajir tentang fitnah Al Khawarij di Hadhramaut dan mengajak Al Muhajir untuk membantu mereka menyelesaikan fitnah itu lantas Al Muhajir menjanjikan untuk datang ke negeri mereka.

Perjalanan ke Tihamah dan Hadhramaut.

Hadhramaut pada waktu itu berada dibawah pengaruh Abadhiyah suatu gerakan yang dipelopori oleh Abdullah bin Ibadh Al Maady, gerakan ini pertama kali muncul pada abad kedua hijriah dibawah pimpinan Adullah bin Yahya Al Amawi yang menjuluki dirinya sebagai pencari kebenaran[8].

Al Mas'udi dalam kitab sejarahnya menuliskan "Alkhawarij masuk Hadhramaut dan pada saat itu kebanyakan penduduknya adalah pengikut aliran Ibadhiyah dan sampai saat ini (332 tahun penulisan buku tersebut) dan tidak ada perbedaan antara Khawarij yang ada di Hadhramaut dengan yang ada di Oman. Akan tetapi aliran Ibadhiyah dan Ahlu Sunnah tetap hidup di Hadhramaut meskipun pengaruh Khawarij lebih menyeluruh di wilayah Hadhramaut samapi datangnya Al Muhajir.
Mengapa Al Muhajir memilih untuk berhijrah ke Hadhramaut?

Dhiya Syihab dalam kitabnya Al Imam Al Muhajir mengatakan, apakah motivasi Al Muhajir untuk berhijrah ke hadhramaut adalah harta? Hadhramaut bukanlah negri yang berlimpah harta dan dia pun seorang yang kaya raya, ataukah hijrah Al Muahjir adalah untuk membantu rakyat hadhramaut, dan mencegah merembetnya fitnah Karamitah yang terus meluas? Sebenarnya kondisi dan peristiwa-peristiwa diatas adalah alas an utama kenapa Al Muhajir berhijrah ke Hadhramaut, sesuai ayat "Alam takun ardlu Allahi waasi'atan fatuhaajiruu fiihaa" artinya tidakkah bumi Allah itu luas sehingga kamu berhijrah dan hadist " yuu syiku an yakuuna khairu maali al muslim ghanamun yatba'u biha sya'afa al jibal wa mawaqi'a alqatar ya firru bidiinihi min al fitan" artinya dikhawatirkan akan dating suatu masa dimana harta yang paling berharga bagi seseorang adalah kambing, dia membawanya kearah pegunungan dan kota-kota untuk melarikan diri menyelamatkan agamanya dari fitnah. Maka Allah menjadikan hijrah Al Muahajir ke Hadramaut sebagai donator dan petunjuk sebab dengan hartanya Al Muhajir membangun banyak infrastruktuk yang lapuk dimakan zaman dan dengan kehadirannya Allah menyadarkan banyak dari orang-orang yang fanatic buta kepada Kahawarij.

Rombongan Al Muhajir diantara Tihamah dan Hadhramaut.

Saiyid Muhammad bin Sulaiman Al Ahdal salah satu dari anggota rombongan memutuskan untuk menetap di Murawa'ah di Tihamah[9], sedangkan saiyid Ahmad Al Qudaimy memutuskan untuk menetap di lembah Surdud di Tihamah, dan dengan izin Allah SWT mereka menjadi tonggak berkembangnya keturunan Nabi Muhammad SAW di negri tersebut, adapun Al Muhajir dia tetap meneruskan perjalanan hingga sampai di desa Al Jubail di lembah Doan, konon penduduknya merupakan pecinta keluarga Nabi Muhammad SAW dan mereka dapat banyak belajar dari Al Muhajir, kemudian pindah ke Hajren disana terdapat Al Ja'athim termasu kabilah Al Shaddaf yang merupakan pengikut aliran Sunny[10], disana Al Muhajir mangajak semua golongan untuk bersatu di bawah panji islam dan mempererat tali persaudaraan diantara mereka, maka banyaklah diantara orang-orang kahawarij yang sadar dan taubat kembali kejalan yang benar, ketika di Hajren Al Muhajir ditemani dan dibela oleh para petua dari kabilah 'afif. Al Muhajir membeli rumah dan kebun korma di hajren yang kemudian dihibahkan ke hamba sahaya nya Syuwaiyah sebelum pindah dari Hajren.

Dan setelah keluar dari Hajren Al Muhajir singgah dan bertempat tinggal di kampung Bani Jusyair didekat desa Bur yang mana penduduknya pada saat itu adalah Sunny, disitu Al Muhajir berdakwah dengan sabar dan sopan, kemudian pindah lagi ke desa Al Husaiyisah[11] dan disana membeli tanah perkebunan yang dinamakan Shuh di atas desa Bur. Pada periode ini Al Muhajir banyak menarik perhatian orang di daerah itu sehingga mereka banyak mengikut langkah sang Imam, kecuali beberapa golongan dari kahawarij, hal ini yang menyebabkan Al Muhajir mendatangi mereka untuk memahamkan mereka.

Al Imam Al Muhajir dan Khawarij

Hadirnya Al Muhajir di Hadhramaut merupakan peristiwa besar dalam sejarah, sebab kehadiran Al Muhajir di Hadhramaut membawa perubahan besar di daerah itu, Yaman ketika itu diperintah oleh Al Ziyad di Yaman utara, namun penduduk Hadhramaut memiliki hak untuk menetukan perkara mereka, tidak semua penduduk Hadhramaut pada saat itu bermadzhab Ibadhi, terbukti keluarga Al Khatib dan Ba Fadhal dari Tarim pada saat itu masih berpegang teguh dengan aliran yang benar.

Imam Muhajir selalu berdiskusi dengan para pengikut Abadhiyah dengan bijaksana dan teladan yang mulia, yang mana hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para lawan diskusinya dan menimbulkan simpati mereka, Khawarij adalah mazhab yang menerima diskusi tentang madzhab mereka dan mereka pun banyak berdiskusi dengan para ulama di banyak hal, sedangkan Al Imam Al Muhajir merupakan sosok yang ahli dalam hal meyakinkan lawan bicara. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Saiyid Al Syatiri dalam kitabnya "Al Adwar" halaman 123, sehingga aliran Al Abadhi perlahan-lahan terkikis dan habis di hadhramaut dan digantikan dengan mazhab Al Imam Syafii dalam hal pekerjaan dan Imam Al Asy'ary dalam hal Aqidah.

Adakah bentrok senjata antara Al Muhajir dan Khawarij?

Para ahli sejarah berselisih pendapat tentang terjadinya kontak senjata antara Al Muhajir dengan Khawarij, sebagian menyatakan terjadinya hal itu dan meriwayatkan kemenangan Al Muhajir atas kaum Khawarij, sebagian lagi menafikan hal tersebut.

Saiyid Al Syathiri dalam kitabnya "Al Adwar" menafikan terjadinya kontak senjata diantara kedua belah pihak, dkatakanjuga bahwa pendapat ini di ambil karena dari sekian referensi sejarah yang ada pada nya tidak satupun yang memaparkan tentang terjadinya kontak senjata diantara kedua belah pihak demikian juga para penulis sejarah Hadhramaut dari kurun terakhir[12], adapun Saiyid Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh dalam kitab Al Muhajir menyatakan terjadinya perang Bahran[13] namun keduanya tidak mencantumkan referensi yang memperkuat pendapat tersebut.

Saiyid Abdul Rahman bin Ubaidillah mengatakan bahwa Al Muhajir dan putra-putra nya terus menrus melancarkan argument-argumen kepada Ibadhiyah sampai mereka kehabisan dalil dan pegangan, dikatakan juga bahwa Al Muhajir melumpuhkan kekuasaan Abadhiyah dengan cara melancarkan argument-argumen yang membuktikan kesalahan mazhab mereka, Syeh Salim bin Basri mengatakan Al Muhajir membuka kedok bid'ah Khawarij dan membuktikan kesalahannya, pendapat keduanya didukung pula oleh Al Faqih Al Muqaddam.

Al Imam Al Muhajir dan nasab mulianya

Sebagian penulis mengangkat tajuk pada tulisan mereka mengenai nasab Ahlu Bait Nabi Muhammad SAW, banyak diantara mereka yang menanamkan keraguan tentang Ahlu bait, motivasi mereka untuk mengangkat tema itu bermacam-macam diantara mereka ada yang hanya ingin mendapatkan pencerahan sehingga lebih meyakinkan mereka, ada pula diantara mereka yang ingin menjatuhkan Ahlu bait karena iri dan dengki terhadap mereka.

Berangkat dari kenyataan ini Al Imam Al Muhajir sebelum berangkat ke Hadhramaut telah menyusun nasabnya dan anak-anaknya smapai Rasulullah SAW, sebelumnya keluarga Al Muhajir nasab dan silsilahnya sudah terkenal di kota Bashrah, seandainya bukan begitu ini merupakan titik lemah yang bisa digunakan oleh Khawarij untuk menumbangkan dalill-dalil Al Muhajir.

Sepeninggal Al Imam Al Muhajir beberapa orang ulama Hadhramaut berinisiatif untuk mencari bukti yang membenarkan nasab Al Imam Al Muhajir, Syeh Ba Makhramah dalam kitab tarikh nya mengatakan: Ahmad bin Isa ketika datang di Hadhramaut, penduduk kota itu mengakui kemulyaan dan keagungannya, lantas mereka ingin membuktikan pengakuan mereka lantas 300 orang mufti di Tarim pada saat itu mengutus seorang ahli hadist Al Imam Ali bin Muhammad bin Jadid ke Iraq untuk membuktikan hal tersebut[14], lantas sang imam pulang dengan membawa nasab mulia Al Muhajir.

Saiyid Alwi bin Thohir membeberkan masalah ini di salah satu artikelnya yang di muat di majalah Rabithah Alawiyah(2/3:95M) dan mengatakan, kemulayaan Al Muhajir, keberadaan famili dan handai taulannya di Bashrah, tinggalnya Muhammad putra Al Muhajir di bashrah untuk menjaga harta bendanya, dan putra putri Ali, hasan, dan Husain, kedatangan Saiyid Jadid bin Abdullah untuk melihat harta benda itu, kesaksian penduduk Iraq akan kebenaran nasab Al Muhajir dan pengembangan harta Al Muhajir dari Iraq oleh anak cucunya di Hadhramaut, adanya saudara dan ipar Al Muhajir di Iraq, adanya hubungan yang continyu diantara mereka, adanya kabilah Bani Ahdal dan Bani Qudaim di Yaman, ini semua merupakan bukti akan kebenaran nasab Al Muhajir, tidaklah mudah bagi Saiyid Ali Bin Muhammad bin Jadid untuk mendapatkan bukti ini sepeninggal kakek-kakenya selama bertahun-tahun bila nasab tersebut tidak terkenal di Bashrah, karena Ali dilahirkan di Hadhramaut bergitu juga Ayahnya Muhammad bin Jadid, akan tetapi hubungan antara mereka dengan keluarga yang di Iraq setelah kepergian mereka tidak putus.

Diantara para penulis yang mengulas luas tentang nasab Al Muhajir da puta-putra nya adalah:

1. Al Majdi, Al Mabsuth, Al Masyjar, yang ditulis oleh Ahli nasab, Abu Hasan Najm Al Diin Ali bin Abi Al Ghanim Muhammad bin Ali Al Umri Al Bashri, meninggal tahun 443.
2. Tahdhib Al Ansaab, Tulisan tangan Al Allamah Muhammad bin Ja'far Al Ubaidli, meninggal tahun 435.
3. Umdatu Al Thalib Al Kubra, ditulis oleh ahli nasab Al Allamah Ibn Anbah Jamal Al Diin Ahmad bin Ali bin Husain bin Ali bin mihna Al Dawudi.
4. Al Nafhah Al Anbariyah Fi Ansab Khairil Briyah, ditulis oleh Al Allamah Ibn Abi Al Fatuh Abi Fudhail Muhammad Al Kadhimi, meninggal tahun 859.
5. Tuhfatu Al Thalib Bi Ma'rifati Man Yantasib Ilaa Abdillah Wa Abii Thalib, ditulis oleh Al Allamah Al Muarrikh Abi Abdillah Muhammad bin Al Husain Al Samarqandi Al Makky, meninggal tahun 996.
6. Zahru Al Riyadh Wa Zalalu Al Hiyaadl, ditulis oleh Al Allamah Dlamin bin Syadqam, meninggal tahun 1085.

Ibn Anbah dan AL Imam Al Murtadla memiliki dua kitab berbeda tentang nasab ini dan belum dicetak, adapun kitab yang ditulis secara modern tentang nasab Ahlu bait antara lain Dirasaat Haula Ansaab Alu bait oleh Saggaf bin Al Alkaff., Tazwiid Al Rawi oleh Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Syathiri. Jadi permasalahannya sekarang bukan karena kurangnya literature atau referensi tapi karena hilangnya prinsip amanah dan hantaman dari para pengkhiyanat, juga karena kurangnya tingkat pengetahuan syariah sebagian Ahlu bait dan terpengaruhnya mereka oleh budaya orientalist, yang terus merongrong zona islam.

Meninggalnya Al Imam Al Muhajir

Setelah perjuangan yang tanpa mengenal lelah dan penuh kesabaran Al Imam Al Muhajir berhasil menanamkan metode Da'wah ila Allah dengan cara khusus beliau, dan berhasil pula menanamkan paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Hadhramaut, akhirnya Al Muhajir berpulang kehadirat Allah SWT pada tahun 435 H, dan di makamkan di Al Husyaisyiah tepatnya di Syi'b Makhdam, dan dapat diziarahi sampai hari ini.

Dimakamkan pula disekitar Kuba Al Muhajir Saiyid Al Allamah Ahmad Al Habsyi, dahulu diadakan setiap tahunnya peringatan masuknya Al Imam Al Muhajir ke Hadhramaut kemudian peringatan ini sempat terputus, lalu diadakan lagi namun dalam bentuk lebih terbatas, dan pada tahun 1422H ditambahkan nbeberapa peringatan yang sesuai dengan zaman, seperti seminar tentang samapainya Al Imam Al Muhajir di Hadhramaut, yang diisi didalamnya denagn study tentang sosok Al Muhajir, sejarah, ilmu, dan pengaruh perpindahannya ke Hadhramaut dalam kuliah-kuliah yang diadakan di Tarim dan Seiyun, dan harapan kami hal ini akan menjadi adat setiap tahun yang akan membiaskan gambaran ilmu dan sejarah yang telah ditorehkan oleh sekolah Al Muhajir dan orang-orang setelahnya demi membela islam, umat, dan negri.

[1] .oranr-orang negro mengadakan revolusi di effrat Basharh dibawah pimpinan seseorang dari Azarigah dari desa Drifin bernama Bahlul dan menjuluki dirinya Ali bin Abdul Rahim dari qabilah Abdul qais dari Bahrain, dia menggembar-gemborakan pembebasan para budak di Basrah dan sekitarnya, akhirnya dia berhasil mengambil hati para budak dan mengajak mereka untuk meninggalkan tuan-tuan mereka, lalu dia pindah ke Baghdad selam setahun kemudian kembali lagi ke Bashrah dan diperangi oleh Al Mu'tamad pada tahun 256 namun kemenangan ada di tangan para orang negro, sehingga penduduk Basrah pun meninggalkan negri mereka, tahun 357 orang-orang negro menguasai Bashrah dan banyak membantai penduduknya serta merusak dan membakar masjid-masjid serta menyalakan api diseluruh penjuru kota. (Al Muhajir)12-22.

Disebutkan juga bahwa diantara factor yang menyebabkan kemenangan orang negro adalah pertahanan kota sangat rapuh disebabkan karena perpecahan partai, tampaknya kota ini saat itu dilanda pertikaian antara Rabi'iyin yaitu Syiah, dan Al Sa'adiyin yaitu Sunny (Al Muhajir)23. masa kekuasaan Orang-orang negro berakhir pada tahun 280 setelah perang yang berlangsung selama 14 tahun, namun pengaruh fitnah ini berlangsung lama sekali.

[2] . Abdullah bin Nuh di tambahannya untuk kitab Al Muhajir mengatakan: Ahmad Al Muhajir adalah sosok yang sangat dermawan, berwibawa, berilmu dan senang menyantuni yang lain, kakeknya Muhammad bin Ali adalah putra bungsu ayahnya, lahir di Madinah Al Munawarah kemudian pindah ke Bashrah dan meninggal disana pada tahun 203, kakek Al Muhajir Ali Al Uraidli bin Imam Jakfar Al Shadiq, dinamakan al Uraidli karena dilahirkan di Al Uraidl suatu daerah berjarak 4 mil dari madinah, kakek AL Muhajir merupakan putra bungsu Ayahnya ditinggal mati ayahnya pada saat dia masih kecil lantas berhijrah bersama sudaranya Muhammad bin Ja'far ke Makkah ketika kakaknya melakukan gerrakan disana, dan berhijrah bersama Muhammad bin Muhammad bin Zaid ketika dia memimpin gerakannya di Iraq, lantas ke Khurasan kemudian Bashrah, penduduk Kufah mengundang beliau untuk singgah di sana, lantas beliau berangkat kesana dan tinggal disana beberapa waktu, ketika itu paenduduk Kufah benyak mengambil faidah dari keberadaan beliau, meninggal tahu 210 .

[3] . Para ahli sejarah sepakat untuk menjuluki Ahmad bin Isa dengan julukan Al Muhajir semenjak beliau hijra dari Iraq ke Hijaz yang kemudian menetap di Hadhramaut, Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Syathiri dalam kitab "Al Adwar" menuturkan, sebab penjulukan Ahmad bin Isa dengan Al Muhajir karena dia Hijrah dari Bashrah ke Hadhramaut dengan sebab perbaikan, terutama jaminan keselamatan agamanya dan agama para pengikutnya, dan hijrah yang semacam ini bukan termasuk hijrah Bid'ah, karena hijrah semacamini sudah biasa dilakukan olah keluarga Nabi SAW, dimulai dari hijrah beliau dari Makkah ke Madinah yang kemudian diikuti oleh Al Imam Ali bin Abi Thalib ketika berhijrah ke Iraq Dari Hijaz, dan anak turunnya seperti Al Imam Husain bin Ali, Al Imam Zaid bin Ali bin Husain, Muhammad bin Nafs Al Zakiyah bin Abdullah Al Mahdh bin Al Husain Al Muthanna bin Al Hasan Al Sabt dan kedua saudaranya Ibrahim dan Idris moyang Bani Adarisah di Maghrib, dan lain-lain.(Al Adwar)(1:156)

[4] . Al Syarif Muhammad bin Sulaiman bin Abdullah bin Isa bin Alawi bin Muhammad bin Hamham bin Aun bin Al Imam Musa Al Kadhim bin Ja'far Al Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Al Uraidli….

Demikian disebutkan Sayyid Ali bin Al Husain Al Ahdal dalam kitab Bughyatu Al Thalib Li Ma'rifati Awlaad Ali bin Abi Thalib, Al Ahdal adalah julukan yang diambil dari kata Al Adna yang berarti terdekat, keturunan Bani Ahdal berkembang di Yaman Utara.

[5] . Sebagian kitab tentang nasab menyebutkan nasab Bani Al Qudaimi diantaranya Al Sirah Al Mustafawiyah Wal Ansab Al fathimiyah yang ditulis oleh Al Allamah Saiyid Alawi bin Abdul ARhman Al Saggaf AL Al Makky, disebutkan Anak turun Husain di laembah Sardad dan sekitarnya Bani Qudaimi, Bani Al Syajar, Bani Ahmad, Bani Wali, Bani Sufi, Bani Ismail, Bani Arab, Bani Al Jarufi, Bani Al Shiddiq, Bani Al Bahr, Bani AL Thalj, Bani Al Syah. Ke 13 kabilah ini keturunan Hasan bin Yusuf bin Hasan bin Yusuf bin Hasan bin Yahya bin Salim bin Abdullah bin Husain bin Ali bin Adam bin Idris bin Husain bin Muhammad Al Jawad bin Ali Al Ridla bin Musa Al Kadhim bin Ja'far Al Shadiq.

[6] . Jalur ini dinamakan jalur Zubaidah, dinamakan Zubaidah yang mana dia adalah istri Haru Al Rasyid karena dia mengeluarkan banyak biaya demi untuk perbaikan dan pengamanan jalur ini pada tahun 90, kemudian jalur ini rusak setelah masa Khalifah Al Mutawakkil.

[7] . Karamithah mengambil Hajar Aswad dan dibawa ke Hajar, kemudian dikembalikan lagi setelah kurang lebih 22 tahun, selama itu tempat Hajar Aswad kosong, mereka mengatakan kami ambil Hajara Aswad dengan kekuasaan Allah dan kami kembalikan lagi dengan kehendak Allah.

[8] . Pencari kebenaran muncul bersama sekelompok orang Khawarij pada saat itu, mereeka menyapu Hadharamaut dan sekelilingnya, menguasai Sana'a, menggempur kota Makkah, dan berperang dengan Bani Umaiyah samapi habisnya perlawanan Khawarij, saat itu terbunuh A'war dan beberapa pengikutnya yang kemudian kepala mereka dikeler ke Damaskus pada tahun 130, akan tetapi fitnaj mereka belum selesai juga.

[9] Di sebutkan dalam kitab Al Muhajir, Moyang Bani Ahdal sampai di Yaman, beliau adalah Muhammad bin Sulaiman, lantas beliau tinggal di desa Murawa'ah dekat dengan Baitul Faqih, anak cucunya berkembang samapai diantara mereka ada yang tinggal di lembah Sahm, Fakhriyah, Zabid, Abyat Husain , dan diantara mereka juga ada yang hijrah ke Hadhramaut.

[10] Hajren termasuk pusat pedesaan Shadaf, yang mana pedesaan ini memanjang di pertengahan lembah Doan sampai daerah Andal, Al Ahrum, dan sampai dekat Sadbah.

[11] Sebuah desa diantara Tarim dan Seiyun, dan merupakan desa yang makmur beliau membeli sebagian besar tanah di daerah Suh, daerah ini merupakan benteng yang terkenal didalamnya terdapat sumur yang terletak diatas kota Bur, sumur ini digali oleh Saiyid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir dan di pagari dengan bebatuan besar disetiap batu di ukur nama beliau.

Al Husyaisyah sekarang tak berpenduduk dan rusak diceritakan bahwa rusaknya Al Husyaisyah ditangan Agil bin Isa Al Shabirati tahun 839.

[12] Saiyid Al Syathiri menukil dari Saiyid Al Allamah Abdullah bin Muhammad Al Saqqaf dalam komentar beliau untuk kitab Rihlatul Asywaaq Al Qawiyyah karangan Ba Kathir, di sebutkan didalamnya terjadinya bentrok senjata diantara mereka, kemudian dikatakan : sebuah pertempuran terjadi di Buhran ketika Al Muhajir masih tinggal di Al Hajrain ketika itu kekuasaan Abadliyah runtuh, setelah itu Al Muhajir pindah dari Al Hajrain menuju kampung Bani Jusyair, lantas Al Syatiri mengatakan: akan tetapi saya telephon Al Saqqaf dan memintanya untuk menyebutkan referensi pendapatnya, namun dia tidak menjawab. Sebagian orang menisbatkan pendapat ini kepada Al Marhum Ahmad bin Hasan Al Attas, dan belum diketahui referensi aslinya, Muhammad bin Aqil bin Yahya mengatakan di komentarnya atas kitab Diwan Ibn Syihab , bahwa Al Muhajir dan anak cucunya nya sampai abad ke 6 H memerangi kaum Abadhiyah kemudian mereka melepaskan senjata, tapi belum diketahui referensinya, boleh jadi mereka mengambil kesimpulan bahwa Bani Alawiyin selalu menggunakan senjata untuk perang dan grilya, tapi pendapat semacam ini tidak bisa langsung diterima tanpa ada bukti tertulis, karena bersenjata barang kali itu hanya tradisi atau untuk membela diri semata.(Al Adwar 150;1)

[13] Bahran adalah padang pasir terletak diantara Al Hajrain dan desa Sadbah, peduduknya dari Kabilah Kindah.

[14] Sebagian orang menganggap kata kata (ingin membuktikan) adalah peraguan atas nasab Al Muhajir, tapi betapapun kata yang di gunakan penulis hal itu tidak mengandung penafian ataupun pembuktian, sebagaimana yang dilontarkan sebagian orang.